Fenomena Child grooming

Oleh : Departemen Kajian Strategis KDRM

Definisi

Pelecehan seksual dapat terjadi pada siapa saja. Kejahatan ini dapat berdampak negatif pada psikologis, emosional, dan kesehatan fisik korbannya. Salah satu bentuk pelecehan seksual terhadap anak adalah child grooming. Menurut NSPCC (National Society for the Prevention of Cruelty to Children), grooming merupakan upaya yang dilakukan seseorang untuk membangun hubungan, kepercayaan, dan hubungan emosional dengan seorang anak atau remaja sehingga mereka dapat memanipulasi, mengeksploitasi, dan melecehkan mereka. Di banyak negara, grooming sudah marak menjadi modus kejahatan pelaku pelecehan seksual anak.

Menurut analisis yang dilakukan oleh ICMEC (The International Centre for Missing & Exploited Children, 2017) di definisikan sebagai berikut ”online grooming mengacu pada penggunaan Internet atau teknologi digital lainnya untuk menjalin atau membangun hubungan dengan anak di bawah usia 18 tahun untuk memfasilitasi interaksi seksual non-kontak (online) atau kontak (offline) dengan anak tersebut. Grooming melibatkan "manipulasi psikologis yang biasanya sangat halus, berlarut-larut, diperhitungkan, dikendalikan, dan direncanakan," dengan tujuan membangun hubungan emosional dengan anak untuk menurunkan hambatan anak. Melalui proses grooming, pelaku berusaha untuk mendapatkan kepatuhan anak untuk menjaga kerahasiaan, dan untuk menghindari deteksi dan hukuman.”

Child grooming merupakan salah satu tindak pidana yang belakangan ini mulai ramai menjadi sorotan dikarenakan modus operandi yang dilakukan tidak seperti pada umumnya sebuah kejahatan kekerasan seksual. Dalam hukum pidana tindak pidana kejahatan seksual yang sedari dulu dikenal adalah kekerasan seksual dan pelecehan seksual. Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual hingga perbuatan memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau di saat korban tidak menghendaki, dan atau melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai korban serta menjauhkan (mengisolasi) dari kebutuhan seksualnya (Sulaeman dan Homzah, 2010).

Contoh Kasus

Kasus nyata dari peristiwa child grooming terjadi disekitar kita. Kasus child grooming dekat pula hubungannya dengan modus kekerasan seksual, terutama sekarang yang sedang marak adalah yang terjadi melalui media online atau daring. Berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan ECPAT Indonesia, di kuartal pertama tahun 2019 ditemukan angka kasus kejahatan seksual pada anak melalui daring cukup besar kisarannya dari 37 kasus yang ditemukan, sekitar 35% nya terdapat kejahatan seksual anak melalui daring, baik bentuk child grooming online dan kasus pornografi. Di Indonesia, praktik child grooming secara online ini pernah terjadi, salah satunya pada tahun 2019 dalam kasus pelecehan terhadap anak melalui game online. Tersangka dalam kasus tersebut adalah AAP alias Prasetyo Devano alias Defans alias Pras yang berusia 27 tahun, ia melancarkan aksinya dengan menggunakan media game online yaitu HAGO untuk melakukan pelecehan seksual dengan modus child grooming kepada setiap anak yang ditemuinya dan total sudah ada 10 korban menurut pengakuannya. Motif yang ia lakukan adalah bertukar nomor dengan korban dan mengajaknya untuk masuk ke dalam sebuah grup Whatsapp, ia pun melakukan modus child grooming yaitu dengan membangun hubungan dan juga kepercayaan dengan korbannya sehingga si korban mau untuk melakukan apa saja yang diminta oleh tersangka AAP, yaitu seperti melakukan perbuatan yang tak senonoh melalui panggilan video di Whatsapp.

Belum lama ini kasus child grooming juga terjadi pada salah satu televisi swasta di Indonesia, namun bedanya bahwa dalam kasus tersebut, televisi swasta tersebut seakan-akan menormalisasi child grooming melalui siaran sinetron. Siaran sinetron yang dimaksud ini adalah “Suara Hati Istri: Zahra” yang di dalamnya terdapat peran istri ketiga bernama Zahra yang diperankan oleh seorang aktris berumur 15 tahun. Aktris yang masih dibawah umur ini bermain dengan lawan perannya yang berumur 39 tahun. Permasalahannya terletak pada tidak tepatnya pemilihan umur aktris yang memainkan peran tersebut dan juga jalan cerita serta penokohannya. Hal itulah yang mengundang permasalahan dan kecaman dari berbagai pihak. Pada sinetron ini, digambarkan bahwa Zahra adalah seorang perempuan remaja yang terpaksa menikah dengan pria bernama Tirta yang berusia 40 tahun yang sudah mempunyai dua istri sebelumnya. Dalam jalan ceritanya terdapat adegan Zahra dan Tirta yang dilakukan di atas ranjang, meski tak berbentuk vulgar secara nyata, tetapi adegan ini menjadi sebuah penggambaran hal negatif mengenai modus child grooming di dalamnya, yang kemudian dikhawatirkan dapat memengaruhi pola pikir masyarakat Indonesia yang menontonnya sehingga berujung kepada hal yang dinormalisasikan.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menegaskan bahwa sinetron “Siaran Hati Istri: Zahra” merupakan salah satu bentuk dari pelanggaran hak anak yang dapat dilihat dari jalan ceritanya serta sinetron ini tidak sejalan dengan langkah pemerintah yang berjuang untuk mencegah pernikahan di usia anak, kekerasan seksual, dan lainnya yang menyangkut perlindungan anak. Unsur seperti bentuk dorongan pernikahan dini dalam sinetron ini sekaligus bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Nahar selaku Deputi Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA menyampaikan bahwa terdapat unsur dalam sinetron ini yang bertentangan dengan pasal 66C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, hal itu karena sinetron ini memperlihatkan bentuk kekerasan psikis yang berupa bentakan, makian, dan pemaksaan untuk melakukan hubungan seksual dari si pemeran pria.

Dampak child grooming

Child grooming akan berdampak pada gangguan psikologis bagi korban, seperti mengalami gangguan depresi, cemas yang berlebih, bahkan korban memiliki pikiran untuk meyakiti diriya sendiri untuk melakukan bunuh diri. Dari sisi sosial, child groming akan mengakibatkan korban untuk menarik diri dari kehidupan bermasyarakat dan keluarganya. Selain itu, korban juga akan kehilangan kemampuan untuk berpartisipasi dalam ruang publik sehingga ia memiliki gangguan kepercayaan terhadap dirinya sendiri.

Bagaimana regulasi mengatur mengenai child grooming ?

Pada dasarnya, peraturan hukum mengenai child grooming belum diatur secara tegas dan jelas di Indonesia. Namun, Indonesia tidak sendiri, hanya 63 negara di seluruh dunia yang mengatur mengenai child grooming dan tindakan yang mengikutinya, 133 negara lainnya termasuk Indonesia masih mengaturnya dibawah tindak pidana lainnya, seperti kekerasan seksual hingga perdagangan anak (Suendra & Mulyawati, 2020:121).

Salah satu negara terdekat dari Indonesia yang sudah mengatur mengenai child grooming adalah Singapore. Pengaturan mengenai segala bentuk hubungan dengan anak dibawah umur sendiri sudah diatur dalam Penal Code Pasal 376A sampai 376EE, dengan peraturan mengenai Sexual Grooming sendiri diatur dalam Pasal 376E dan 376EA. Seluruh peraturan mengenai hubungan dengan anak dibawah umur sudah terbilang lengkap dan mendalam diatur dalam Penal Code Singapore. Mulai dari hubungan penetrasi, komunikasi yang berbau seksual, hingga seks komersial yang akan berhubungan pula dengan perdagangan anak. Selain mengatur mengenai bentuk tindakan yang termasuk dalam kejahatan, Singapore juga secara jelas mengatur mengenai umur para korban. Ditetapkan bahwa setiap anak yang berumur dibawah 16 tahun akan dianggap sebagai minor atau orang yang belum dewasa. Tetapi, tetap diatur pula mengenai anak berumur diatas 16 tahun dan masih dibawah 18 tahun.

Berikut juga Australia, yang sudah mengatur segala bentuk hubungan baik yang berbau seksual maupun tidak. Sejak amandemen Crimes Act pada tahun 2014, bahkan secara khusus tindakan child grooming sudah diatur dalam Pasal 49B. Penjelasan mengenai Grooming juga diperdalam dengan berbagai bentuk komunikasi, termasuk komunikasi via daring. Hal ini penting untuk digarisbawahi mengingat tindakan child grooming semakin marak dan mudah terjadi di dunia maya. Dalam peraturan negara kanguru tersebut, diatur bahwa umur yang dianggap sebagai minor adalah 16 tahun. Untuk hal ini indonesia sedikit lebih baik karena dalam Pasal 1 Undang-Undang tentang Perlindungan Anak diatur bahwa “Anak” adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Dianggap umur 16 hingga 18 merupakan usia transisi dimana kondisi mental dan nalar anak-anak masih bertumbuh dan tidak bisa dianggap sebagai dewasa secara penuh. Maka dapat dikatakan bahwa langkah yang diambil Singapore dalam membedakan keduanya dan disaat yang bersamaan tidak menganggap 18 tahun sebagai dewasa merupakan langkah yang tepat.

Sebagai perbandingan, di tanah air peraturan mengenai child grooming bahkan mengenai hubungan platonik maupun seksual diantara orang dewasa dan anak dibawah umur belum diatur secara mendalam dan jelas seperti dua negara yang dicontohkan diatas. Tindak pidana child grooming diatur dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, diikuti peraturan lainnya dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak . Secara garis besar seluruhnya hanya mengatur mengenai tindakan yang bisa dibilang sudah menjadi level atas atau akibat dari adanya child grooming itu sendiri. Hal ini dikarenakan kebanyakan dari peraturan tersebut hanya mengatur mengenai distribusi konten yang melanggar kesusilaan hingga kekerasan seksual secara fisik. Padahal tindakan child grooming sejak dimulainya suatu hubungan sudah dapat merusak mental dan keadaan sang anak minor. Sehingga tanpa perlu menunggu diadakannya tindakan seksual, dimulai dari komunikasi yang dilakukan saja seharusnya sudah menjadi suatu bentuk kejahatan.

Referensi

Jurnal

Andaru, Imara Pramesti Normalita, “Cyber Child grooming sebagai Bentuk Kekerasan Berbasis Gender Online di Era Pandemi”, Jurnal Wanita dan Keluarga Volume 2 Nomor 1, Surakarta : Fakultas Ilmu Sosial Ilmu, Politik Universitas Sebelas Maret.

Salamor, Anna Maria, dkk, 2020, “Child grooming Sebagai Bentuk Pelecehan Seksual Anak Melalui Aplikasi Permainan Daring”, SASI Vol. 26 Nomor 4, Ambon : Fakultas Hukum Universitas Pattimura.

Suendra, Dessy Lina Oktaviani, Kade Richa Mulyawati, 2020, “Kebijakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Child grooming ”, Kertha Wicaksana Volume 14 Nomor 2, Denpasar : Fakultas Hukum Universitas Warmadewa.

Artikel

https://ecpatindonesia.org/en/news/catatan-akhir-tahun-ecpat-indonesia-2019%20-burukny a%20perlindungan%20-anak-dari-kejahatan-seksual-online/,%20diakses%203%20Agustus %202021., Diakses pada 3 Agustus 2021.

https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/3217/kemen-pppa-sinetron-suara-hati-istri-zahra-melanggar-hak-anak. Diakses Pada 3 Agustus 2021.

https://magdalene.co/story/apa-pun-alasannya-grooming-adalah-kekerasan-seksual. Diakses pada 3 Agustus 2021.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 menjadi Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Australia Crimes Amendment Act 2014.

Singapore Penal Code .

Komunitas Debat dan Riset Mahasiswa
Komunitas Debat dan Riset Mahasiswa

Written by Komunitas Debat dan Riset Mahasiswa

KDRM merupakan salah satu lembaga semi otonom yang bergerak dalam bidang debat dan riset Fakultas Hukum Univesitas Atma Jaya Yogyakarta. Instagram : kdrm_fhuajy

No responses yet